Sehubungan dengan adanya upaya kriminalisasi oleh pihak kampus universitas Bandar Lampung terhadap yang melaporkan mahasiswanya karena melakukan aksi menuntut turunnya pungutan SPP, LBH PERS Lampung mengutuk keras kejadian tersebut. Bahwa dalam pelaporan tersebut adalah bentuk pembungkaman terhadap demokrasi serta pengkebirian Hak Mahasiswa untuk memperjuangkan turunnya SPP.
Aksi massa bukanlah hal yang luar biasa, mengingat kampus adalah mimbar akademis yang seharusnya tidak alergi dengan aksi protes oleh mahasiswanya. Wajar apabila hari ini mahasiswa menuntut untuk diturunkannya SPP, kondisi Pandemi yang hari ini melanda memang sangat berdampak pada ekonomi para orang tua mahasiswa. Banyak mahasiswa yang protes akan biaya kuliah yang tidak mampu mereka bayarkan karena memang kondisi perekonomian yang sedang anjlok. Sehingga bukan hanya di UBL saja yang terjadi aksi protes penurunan SPP kuliah, namun hamper di seluruh kampus berjalan dengan damai.
Terkait dugaan tindak pidana yang di laporkan oleh pihak universitas Bandar Lampung tentang penghasutan dan pelanggaran undang undang karantina pasal 93 Undang – undang nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan Kesehatan, terkesan di paksakan dan mencerminkan kampus yang otoriter. Bukannya mengedepankan langkah – langkah akademik, demokratis dan humanis, pihak kampus justru menggunakan cara represif yang sangat disayangkan malah mencoreng wajah kampus itu sendiri. Terlebih Universitas Bandar Lampung sudah dikenal banyak mencetak aktivis – aktivis yang pro demokrasi dan hak asasi manusia, jadi jangan sampai kampus ini menjadi kampus yang ototriter.
Pihak kampus cenderung mencari pembenaran dan mencari-cari kesalahan massa aksi dengan memberikan statement bahwa mahasiswa yang mengikuti aksi ialah dari organisasi illegal yang bukan berasal dari internal kampus. Karena pada dasarnya, meskipun mahasiswa aktif di organisasi luar kampus, namun ia tetap terdaftar sebagai mahasiswa aktif di kampus UBL, maka tak ayal, upaya yang dilakukan pihak kampus hari ini adalah cerminan dari sikap yang otoriter. Karena kebebasan berpendapat di muka umum merupakan hak yang dimiliki oleh setiap individu yang dijamin oleh konstitusi, hal ini termuat pada Pasal 28.
Oleh karena itu LBH Pers Lampung mendorong agar pihak universitas Bandar Lampung Untuk mencabut laporan di polresta Bandar Lampung dan duduk bersama mahasiswa untuk mendapatkan solusi terbaik.
LBH Pers Lampung
Chandra Bangkit Saputra, S.H.
Direktur
tag : LBH Pers Lampung, UBL, Aksi Massa, Demo, Turunkan SPP, Represif, Kampus Otoriter, Universitas Bandar Lampung, Kriminalisasi
BANDAR LAMPUNG - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Lampung akan menggelar diskusi publik bertajuk “Menakar Kebebasan Berpendapat di Bumi Ruwa Jurai”. Diskusi tersebut bagian dari pelantikan dan pengukuhan pengurus LBH Pers Lampung Periode 2020-2023 di Hotel Emersia, Bandar Lampung, Jumat, 27/11/2020, pukul 08.00-11.30 WIB.
tag : LBH Pers Lampung, LBH Bandar Lampung, Pengukuhan Pengurus, Kebebasan Berpendapat
Bantu kami tanda tangani petisi ini.
https://www.change.org/p/joko-widodo-tunda-pilkada-sekarang-juga-keselamatan-rakyat-hukum-tertinggi-bagi-negara
Salus Populi Suprema Lex Esto, “Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi Bagi Suatu Negara” adalah adagium yang dilontarkan Cicero, filsuf dan ahli hukum pada zaman Romawi Kuno (106-43 SM) yang menjadi salah satu asas dalam penerapan norma hukum ataupun penegakan hukum. Adagium tersebut kini kembali menghegemoni diruang-ruang publik saat masa Pandemi Covid-19 yang semakin hari makin mengancam semua aspek kehidupan masyarakat.
Negara dalam hal ini Pemerintah wajib membuat kebijakan sedemikian rupa guna merekayasa sosial dengan aturan atau regulasi dalam meminimalisir penyebaran dan menekan penambahan angka penyebaran Covid-19, itu senada dengan teori dikemukakan oleh Roscoe Pound, Law as a tool of sosial engineering yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat yang tetap bernafaskan Hak Asasi Manusia, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah dan merekaya nilai-nilai sosial dalam masyarakat agar menjadi lebih baik.
Namun hal tersebut tidak berjalan, bahkan menambah angka kasus Covid-19. Begitu pula halnya dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2020 yang telah menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada. Peraturan ini hanya mengatur tentang penundaan pelaksanaan Pilkada ini serentak akan digelar di 270 daerah, meliputi 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota dan tahapannya sudah dilaksanakan serta puncak adalah pungutan suara pada 9 Desember 2020.
Tahapan pendaftaran pasangan calon pada 4-6 September silam menjadi salah satu alasan agar Pilkada ditunda sekarang juga, karena hampir dari seluruh Bakal Calon yang mendaftar melibatkan massa yang berkerumun dan tidak menerapkan protokol kesehatan. Bawaslu mencatatat ada 243 Bakal Calon yang melangar Protokol Kesehatan. Namun itu hanya catatan. Tidak ada mekanisme dan sanksi yang jelas bagi Bakal Calon ataupun (nanti) Calon yang melanggar protokol kesehatan dikarenakan adanya kekosongan peraturan (vacum of wet).
Terlebih banyak sudah ada Penyelenggara Pemilu baik di tingkat Pusat maupun Daerah dan Bakal Calon Kepala Daerah yang terpapar Covid-19, teranyar adalah Ketua KPU RI yang dinyatakan positif Covid-19. Tidak ada alasan lain untuk menunda Pilkada sekarang juga.
Namun permasalahan selanjutnya adalah penetapan penundaan pilkada yang harus disetujui anatara KPU, Pemerintah dan DPR sebagaimana dalam Pasal 122A UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 2020 yang menyatakan bahwa:
1) Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12O dilaksanakan setelah penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak dengan Keputusan KPU diterbitkan.
2) Penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak serta pelaksanaan Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Hal tersebut menjadi kemunduran bagi kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilihan. Dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada dimana penetapan penundaan pilkada dalam skala lokal menjadi kewenangan KPU. Surat Keputusan dikeluarkan oleh KPU, namun sebelum menjadi dasar Surat Keputusan itu harus ada persetujuan ketiga belah pihak antara KPU, Pemerintah dan DPR yang menyebabkan kewenangan KPU sebagai penyelenggara pemilu terkunci, hal tersebut merupakan suatu kemunduran dari sifat kemandirian KPU dan menimbulkan adanya potensi konflik kepentingan (conflict of interest) .
Apabila tetap dilanjutkan pelaksanaan Pilkada, ini menjadi ancaman penyebaran Covid-19 kluster Pilkada dan potensi Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Diantaranya yaitu:
1. Hak untuk hidup yaitu merupakan hak yang tidak dapat dicabut (non-deregable right), yang dijaminkan dalam Pasal 28A UUD 1945, Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Polik (Diratifikasi dengan UU Nomor 12 Tahun 2005).
2. Hak atas kesehatan, yang pengaturan jaminannya ditetapkan dalam Pasal 28H UUD 1945, Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 12 ayat (1) Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Diratifikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005), dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
3. Hak atas rasa aman, menekankan kewajiban negara atau pemerintah untuk memberikan jaminan atas perlindungan diri, kehormatan, martabat, dan hak milik. Kewajiban tersebut tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, Pasal 29 dan Pasal 30 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Maka jangan sampai adagium Salus Populi Suprema Lex Esto menjadi bias dikarenakan tetap dilaksanakannya tahapan Pilkada tanpa adanya jaminan terhadap keselamatan rakyat, untuk itu Pemerintah, DPR, Penyelenggara Pemilu harus menunda Pilkada pilkada sekarang juga. Serta Bakal Calon Kepala Daerah dan Partai Politik lebih menekan ego dalam jalannya kontestasi dan lebih cendrung kepada Keselamatan Rakyat.
LBH Bandar Lampung akan menyampaikan petisi kepada Pemerintah, DPR, dan KPU untuk menunda Pilkada sekarang juga, karena UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada sebagai landasan hukum dalam penundaan pilkada karena tidak memuat substansi mengenai teknis pengaturan tahapan pilkada sesuai protokol kesehatan, selain itu juga tidak mengatur penyesuaian anggaran selama penyelenggaraan pilkada, serta untuk menjamin keselamatan warga negara dari ancaman Covid-19.
tag : Tunda Pilkada Serentak 2020, Pandemi Belum Berakhir, Covid-19, Kluster Pilkada, Pelanggaran HAM, Jokowi, Lampung
PILKADA serentak akan digelar di 270 daerah, meliputi 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Namun dalam tahapan pelaksanaannya menjadi dilematis dan riskan karena perkembangan dan penyebaran Covid-19. Melihat fakta tersebut curva Pandemi Covid-19 di Indonesia terus meningkat, per 15 September 2020 Gugus Tugas menyebutkan sebanyak 3.507 kasus baru dengan total keseluruhan 225.030 kasus positif. Bahkan di Lampung mengalami lonjakan yang begitu tajam dari hari ke hari, terakhir bertambah 39 kasus baru sehingga total 654 kasus positif.
Update 15/09/2020 |
Kasus Baru |
Total Kasus Positif |
Indonesia |
3.507 |
225.030 |
Lampung |
39 |
654 |
Kondisi ini sangat rentan untuk dilaksanakan pilkada serentak dengan melihat data yang ada sejumlah kasus yang terdampak terus naik hingga hari ini meskipun berbagai himbauan dan larangan serta peraturan untuk tetap menjalankan protocol kesehatan secara ketat. Namun faktanya dilapangan masih banyak yang kurang memperhatikan dan melaksanakan protocol Kesehatan. Pembatasan jumlah peserta pilkada yang hadir dalam kegiatan kampanye tak menjamin protokol kesehatan dipatuhi. Hal itu berkaca pada kerumunan massa yang melakukan arak-arakan terjadi pada tahapan pendaftaran pencalonan meski KPU mengatur pembatasannya dan imbauan massa tak melakukan konvoi juga sudah disampaikan
Secara Hukum ada beberapa Aturan Hukum yang membahas tentang penundaan pilkada yang pertama di dalam UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 2020, pada Pasal 120 ayat (1) menyatakan bahwa
“Dalam hal pada Sebagian wilayah pemilihan, seluruh wilayah pemilihan, sebagai besar daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagaian tahapan penyelenggaraan Pemilihan atau Pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan”.
Pasal ini menjelaskan jika ada bencana nonalam mengakibatkan tahapan pilkada tidak dapat lanjut dilaksanakan, maka penundaan bisa dilakukan, frasa dari isi pasal 120 yaitu “bencana nonalam” penambahan ini sangat esensial karena pandemi Covid-19 ini sudah dinyatakan sebagai bencana nonalam berdasarkan keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional.
Namun permasalahan selanjutnya adalah penetapan penundaan pilkada yang harus disetujui anatara KPU, Pemerintah dan DPR sebagaimana dalam Pasal 122A UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 2020 yang menyatakan bahwa:
1) Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12O dilaksanakan setelah penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak dengan Keputusan KPUditerbitkan.
2) Penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak serta pelaksanaan Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Hal tersebut menjadi kemunduran bagi kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilihan. Dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada, penetapan pilkada dalam skala lokal menjadi kewenangan KPU daerah. Surat Keputusan dikeluarkan oleh KPU, namun sebelum menjadi dasar Surat Keputusan itu harus persetujuan bertiga antara Pemerintah dan DPR yang menyebabkan kewenangan peneyelenggara pemilu terkunci, hal tersebut merupakan suatu kemunduran dari sifat kemandirian KPU.
Saat ini KPU telah menetapkan pendaftaran bakal calon kepala daerah pada tanggal 4-6 September 2020, tahapan kampanyekan dimulai pada 26 September hingga 5 Desember sebanyak 71 hari. KPU membagi masa kampanye calon kepala daerah ini dengan tiga fase. Fase pertama yakni kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dialog, penyebaran bahan kampanye kepada umum pemasangan alat peraga dan/atau kegiatan lain. Fase kedua, KPU akan menggelar debat public/terbuka antar pasangan calon Sebagian bagian dari kampanye calon kepala daerah. Fase ketiga, KPU akan membuka kampanye calon kepala daerah melalui media massa, cetak, dan elektronik. Dari ketiga tahapan-tahapan tersebut berpotensi menimbulkan kluster baru dalam Pilkada 2020.
Dengan belum terkendalinya penyebaran Covid-19 bahkan jauh dari kata berakhir hingga saat ini, maka penundaan tahapan pilkada hal yang paling tepat. Apabila tahapan pilkada tetap dilanjutkan potensi meningkatnya kasus Covid-19 semakin tidak terkendali atau menjadi kluster pilkada, sehingga berpotensi terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia. Diantaranya yaitu
LBH Bandar Lampung melihat penundaan Pilkada sangat diharuskan melihat situasi dan kondisi Indonesia saat ini, agar Penyelenggara Pemilu Daerah di Provinsi Lampung dan Pemerintah Daerah menyampaikan pengusulan penundaan pilkada kepada Pemerintah Pusat. Hal itu sangat dibutuhkan dalam mengambil keputusan untuk mementingkan kepentingan hidup masyarakat daripada mementingkan kepentingan Partai Politik, Kontestan dan Pihak Terkait dalam Pemilihan Kepala Daerah. Jika Pilkada masih dipaksakan maka HAK ASASI MANUSIA yang dipertaruhkan, Hak Atas Hidup, Hak Atas Sehat dan hak rasa aman yang tidak dijamin oleh negara.
tag : Pilkada, Covid 19, Corona, Pandemi, Lampung, Positif, Covid 19 di Lampung, LBH Bandar Lampung
Silahkan menyampaikan keluhan anda terhadap kinerja yang kami berikan dalam memberikan bantuan hukum. Seluruh bentuk pengaduan/komplain yang anda sampaikan, dapat membantu meningkatkan kinerja kami.
Jl. Sam Ratulangi, Gg Mawar 1, No.7, Gedong Air, Tanjung Karang Barat, Bandar Lampung
© 2019 - 2021 . All rights reserved | LBH BANDAR LAMPUNG