Baru-baru ini Lampung digegerkan dengan peristiwa kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas di Kabupaten Pringsewu. Yang lebih mengejutkan lagi adalah pelaku kekerasan tersebut adalah ayah, kakak dan adik kandungnya sendiri. Mengingat bahwa jumlah penyandang disabilitas di Lampung sebanyak 23000 jiwa dengan Anak Penyandang Disabilitas sebanyak 4338 jiwa hal ini harus menjadi perhatian yang serius.
Fakta yang dihimpun dari LBH Bandar Lampung terhadap kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadai di Lampung, dengan korban kelompok rentan salah satunya adalah anak sampai dengan hari ini belum mendapat hukuman yang masksimal. Data yang diperoleh dari pengadilan se-Provinsi Lampung terkait kasus kekerasan seksual terhadap kelompok rentan adalah sebagai berikut :
Data diatas terlihat bahwa ada 197 kasus kekerasan terhadap anak dan kekerasan seksual terhadap anak. Jumlah kasus tertinggi ada pada Kota Bandar Lampung, Lampung Selatan, dan Kabupaten Lampung Timur. Data tersebut merupakan kasus-kasus yang ada di Pengadilan Negeri setempat dari tahun 2018 sampai dengan Februari 2019. Kabupaten yang memiliki angka yang tinggi salah satunya merupakan kabupaten Ramah Anak yaitu pada Kabupaten Lampung timur dengan Perda No 05 Tahun 2016 Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Timur tentang Kabupaten Layak Anak dan baru baru ini Kota Bandar Lampung yang akan mencanangkan menjadi Kabupaten Ramah Anak.
Selama ini bahwa untuk pelaku kekerasan seksual terhadap kelompok rentan yaitu anak, masih belum di hukum maksimal. Dari pantauan LBH Bandar Lampung di PN Tanjung Karang pelaku-pelaku kekerasan seksual hanya mendapat hukuman ringan hal tersebut terlihat dari data berikut ini :
Data diatas menunjukan bahwa rata-rata tuntutan pada kekerasan seksual yang dilakukan oleh Jaksa terhadap kasus-kasus kekerasan seksual di PN Tanjung Karang adalah 8,7 tahun dan Hakim pada PN Tanjung Karang terhadap kasus-kasus tersebut hanya memutus pelaku kekerasan seksual dengan rata-rata pidana tahanan selama 6,7 Tahun.
Tipologi kasus yang terjadi bahwa pelaku-pelaku dari tindak pidana kekerasan seksual adalah justru orang terdekat dari korban. Karena kebanyakan modus yang dilakukan adalah dengan merayu korban dengan jumlah kasus sebanyak 28 di PN Tanjung Karang dengan modus tersebut. Artinya bahwa pelaku merupakan orang-orang dekat korban.
Belum lagi kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan, tentu belum kering di ingatan kita tentang kasus kekerasan seksual yang dialami oleh mahasiswi dari kampus ternama di Indonesia yakni Universitas Gadjah Mada yang harus berakhir dengan jalan damai tanpa adanya proses hukum yang jelas. Kemudian untuk di daerah khususnya Provinsi Lampung menurut catatan LBH Bandar Lampung setidaknya terdapat dua kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan terutama di dunia kampus yakni di FKIP Unila yang pelakunya sudah divonis selama 16 bulan dan di UIN Raden Intan Lampung yang saat ini sedang menjalani proses penyelidikan. Maraknya kekerasan seksual dilingkungan pendidikan yang kerap dialami oleh perempuan terutama mahasiswi penyebabnya adalah relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, yang mengakibatkan korban tidak berdaya untuk melakukan perlawanan dan melporkan tindak kekerasan seksual karena dibawah ancaman sang pelaku.
Pihak kampus yang seharusnya pro aktif untuk menuntaskan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkup lembaganya justeru malah tidak mengambil sikap tegas dan terkesan diam, menutup mata dan lepas tanggung jawab terhadap korban. Bukan berusaha untuk menanggulangi agar tindakan serupa tidak terjadi lagi malah melindungi pelaku dan menutup-nutupi peristiwa tersebut demi nama baik kampus. Kemudian, berdasarkan data tipologi hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku, putusan hakim yang diberikan kepada pelaku kekerasan seksual di lampung mengalami disparitas dengan tuntutan jaksa. Bahwa hakim di pengadilan kerap kali memberikan putusan yang jauh dari hukuman maksimal sehingga hal tersebut menyebabkan masih tingginya angka kekerasan seksual yang terjadi.
Oleh karena itu, melihat angka kekerasan seksual yang terjadi di Lampung terbilang cukup tinggi maka penting bagi seluruh pihak dan lapisan masyarakat untuk mendesak Pemerintah agar segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sebab RUU PKS yang digagas oleh Komnas Perempuan tersebut adalah legitimasi dan payung hukum untuk tegaknya keadilan atas kasus kekerasan seksual yang kerap kali terjadi dan yang lebih penting adalah sebagai bentuk perlindungan hak-hak korban yang selama ini tidak diperdulikan.
Kemudian LBH Bandar Lampung melihat peristiwa kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas di Pringsewu tersebut pelaku harus di hukum seberat-beratnya. Sesuai dengan Pasal 81 dan 82 UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bahwa pelaku dapat diancam dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara dan ditambah dengan 1/3 hukum apabila pelaku dan korban memiliki relasi yang tidak setara, yaitu apabila pelaku adalah Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan. Jaksa dan Hakim yang menangani kasus tersebut harus berani mengambil hukuman maksimal terlebih korban adalah penyandang disabilitas.
Perhatian terhadap permaslahan kekerasan seksual ini menjadi atensi khusus kepada Pemerintah daerah, khususnya kepada Kabupaten/Kota yang menjadi Kabupaten/Kota Ramah Anak. Berdasarkan Pasal 41 Ayat (2) bahwa Negara Memiliki kewajiban untuk memberikan perlakuan Khusus kepada anak dan kelompok disabilitas. Negara harus menjami keamanan serta tumbuh kembang anak dan melindungi kelompok rentan.
Negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Artinya bahwa semua element harus bertanggung jawab terhadap kekerasan yang terjadi terhadap anak khususnya Negara yang dalam hal ini memiliki kewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak. Pelaksanaanya Negara harus memberikan dukungan sarana, prasarana, dan ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak.
Sumaindra Jarwadi, S.H
Kadiv Ekosob LBH Bandar Lampung
tag : hari perempuan internasional, lbh bandar lampung, korban kekerasan seksual, lampung
Tahun 2019 menjadi tahun politik bagi bangsa Indonesia, pemilu serentak menjadi momentum pesta demokrasi untuk rakyat. Bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negara mempunyai suara menentukan dalam proses perumusan kebijakan pemerintah melalui saluran-saluran yang tersedia. Pemilu yang sejatinya menjadi tonggak keberlangsungan negara untuk menwujudkan cita-cita bangsa demokrasi Pancasila seharusnya menjadi alat pembangunan mental dan nalar politik rakyat, namun pada keberlangsungannya saat ini momentum Pemilu terdegradasi karena pola perilaku yang dilakukan para elite politik hari ini. Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi konstitusi, Isu Penegakkan Hukum, HAM dan Pemberantasan Korupsi menjadi salah satu isu krusial yang wajib menjadi fokus utama pemerintah. Bahwa berdasarkan pemaparan visi misi kedua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada debat sesi pertama sama sekali tidak memberikan solusi konkret untuk mengentaskan persoalan penegakkan hukum, penuntasan kasus pelanggaran HAM masalalu dan pemberantasan korupsi.
Tiga puluh dua tahun negeri ini dikuasai oleh rezim Orde Baru yang otoriter dan korup menjadi catatan buruk bagi bangsa namun seperti dilahirkan kembali, Reformasi menjadi titik balik bangsa ini menjadi negeri yang lebih demokratis dan merdeka dari otoritas militer dalam menjalankan kegiatan berbangsa dan bernegara. Presiden Soeharto menggunakan ototritasnya untuk memberedel segala upaya yang dapat mengganggu kekuasaannya, Pancasila dijadikan legitimasi dalam setiap aksi-aksi yang dilakukan terhadap orang-orang atau kelompok yang dianggap subversive dan mengancam pemerintahan. Melihat sekup yang lebih detail, di Kabupaten Lampung Timur tepatnya di dusun Talangsari yang saat ini telah berganti nama menjadi dusun Subing Putra III menjadi saksi bisu atas terjadinya pembantaian orang-orang yang dituduh akan mendirikan Negara Islam Indonesia. 7 Februari 1989 menjadi sejarah kelam bagi orang-orang Dusun Talangsari yang saat itu dibantai oleh TNI dibawah komando Danrem 043 Garuda Hitam Tanjung Karang yang dipimpin oleh Kolonel Hendropriyono.
Bahwa berdasarkan catatan KONTRAS data korban tragedi Talangsari yakni sejumlah 218 orang hilang, 550 orang dibunuh di luar proses hukum dan 35 orang yang ditangkap sewenang-wenang. Tentu bukan jumlah yang sedikit, melihat hasil investigasi yang dilakukan bahwa bukti-bukti dan saksi hidup menunjukkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan TNI kala itu. Kini tiga puluh tahun pasca peristiwa Talangsari masih menyisakan luka yang membekas pada keluarga korban dan masyarakat Dusun Talangsari sampai hari ini. Negara yang seharusnya bertanggung jawab untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM justeru dinilai abai dan saling lempar tanggung jawab antara Presiden dan Jaksa agung yang belum lama ini mengembalikan 9 berkas pelanggaran HAM berat kepada Komnas HAM. Kemudian Presiden Joko Widodo yang pada 2014 lalu memaparkan program Nawacita akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM masalalu terbantahkan dengan sikap beliau yang tidak berpihak pada korban.
Peristiwa tersebut menyisakan luka dan trauma mendalam bagi keluarga korban dan masyarakat Dusun Talangsari yang sampai hari ini masih menunggu kepastian dan keadilan terhadap kasusnya yang tak kunjung usai dan harus terasingkan karena tidak diterima oleh masyarakat sekitar dusun sebab label yang sudah terlanjur menjadi stigma di kalangan masyarakat. Keluarga korban kerap kali menerima penolakan di berbagai tempat terutama oleh pelayanan publik sehingga hak-hak dasar yakni ekonomi, sosial dan budaya menjadi terhambat, seperti akses untuk membuat KTP, akses terhadap pendidikan, akses terhadap pelayanan kesehatan serta jalan yang menjadi penghubung antar kampung yang menjadi satu-satunya akses menuju dusun yang tak kunjung diperbaiki sehingga mengakibatkan terisolirnya dusun Talangsari sampai hari ini. Pemerintah daerah Kabupaten Lampung Timur yang memiliki otoritas dan wewenang sebagai representasi negara juga memiliki kewajiban dalam memenuhi dan menjaga hak dari setiap warganya, oleh karena itu di tengah usaha penuntasan kasus HAM dari sisi penegakkan hukumnya, Pemda juga memiliki kewajiban untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar korban dan masyarakat dusun Talangsari serta bertanggung jawab untuk menghilangkan stigma masyarakat tentang Talangsari yang timbul akibat Tragedi pada tiga puluh tahun silam.
Kabupaten Lampung Timur dengan Jumawa mempredikatkan dirinya sebagai kabupaten Ramah HAM melalui peraturan bupati No. 48 Tahun 2016 tentang Kabupaten Lampung Timur Ramah HAM. Peraturan yang dikeluarkan oleh Bupati Lampung Timur pada tahun 2016 tersebut harusnya menjadi acuan bagi Pemda untuk memperhatikan Dusun Talangsari apalagi mengingat sudah dua tahun diberlakukannya Perbup tersebut namun masih sedikit dampak yang dirasakan. Tentu langkah pemerintah daerah dalam hal ini harus diapresiasi dan didukung penuh, karena hal tersebut juga dinilai sebagai langkah konkret terhadap pemenuhan Hak Asasi Manusia terutama pada keluarga korban dan masyarakat Dusun Talangsari. Bahwa harapan melalui Perbub ini bukan hanya mendapatkan penghargaan dari berbagai pihak, namun lebih kepada pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak para keluarga korban dan masyarakat Dusun Talangsari sehingga dapat menjalani kehidupannya secara normal dan terbebas dari stigma negatif yang selama ini menjadi bayang-bayang.
tag : 30 Tahun Tragedi Talangsari, Lampung Timur, Pelanggaran Ham Masalalu Presiden Jokowi, Hendropriyono
MEMBUMIKAN BANTUAN HUKUM STRUKTURAL MELALUI PENGUATAN PERAN PARALEGAL
Oleh :
Chandra Muliawan[1]
Pendahuluan
Pemilihan kata “membumikan” oleh penulis yang dilekatkan pada Bantuan Hukum Struktural, (selanjutnya disingkat BHS), pada judul tulisan ini, bukanlah dimaksudkan bahwa gerakan BHS (yang diberikan oleh LBH Bandar Lampung) tidak berjalan di Provinsi Lampung. Akan tetapi pemilihan kata “membumikan” untuk mengingatkan kita kembali bahwa BHS dikembangkan oleh YLBHI bukanlah sekedar terminologi pengembangan sumber daya hukum masyarakat, tetapi membangun organisasi-organisasi masyarakat.[2]
Akan tetapi dapat dipahami pemilihan kata “membumikan” itu sebagai tantangan bagi LBH sebagai influencer gerakan BHS.[3] Pada kesempatan ini penulis akan memfokuskan mengenai Akses masyarakat yang rentan atau terpinggirkan pada bantuan hukum yang mudah diakses, berkelanjutan dan bermanfaat dengan Penguatan Peran Paralegal.
Pembahasan
Bantuan Hukum Struktural lahir sebagai kritik terhadap sistem ekonomi yang dipraktekan oleh Negara pada permulaan 1970-an. BHS adalah pemikiran alternatif bagi ideologi kapitalisme yang sangat tidak pro pada keadilan, namun pro pertumbuhan.[4] Secara sosiologis, masyarakat terdiri dari kelas-kelas yang berkuasa dan tertindas, hal ini kemudian melalui BHS nasib dari rakyat marjinal dan tertindas itu harus diperjuangkan. Mereka tidak dapat diperjuangkan nasibnya hanya secara legal, normatif yang individual. Sebagaimana dikatakan oleh Todung Mulya Lubis, bahwa masyarakat miskin karena sistemnya membuat mereka miskin. Mereka tertindas karena sistemnya membuat mereka tertindas. Jadi secara struktural memang ada ketidakadilan, yang mesti dilawan dengan cara ekstra legal.[5]
Tentang pendapat Todung Mulya Lubis tersebut diatas, apabila kita menelisik secara historis, tidak berlebihan kiranya penulis sampaikan bahwa ketidakadilan itu memang dibuat secara sadar akibat adanya pemerintahan kolonial.[6] Kemudian tentang bantuan hukum itu sendiri, sebagai suatu legal institution (lembaga hukum) baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 No. 1, perundang-undangan baru di negeri Belanda tersebut juga diberlakukan di Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan peradilan (Reglement of de Regterlijke Organisatic en het beleid der Justitie), yang lazim disingkat dengan R.O.[7]
Ketidakadilan inilah yang menjadikan BHS menjadi suatu gerakan yang bukan semata-mata masalah hukum, tetapi ada hal-hal yang bersifat struktural didalamnya. Senada dengan yang disampaikan oleh John Rawls,[8] bahwa banyak hal dikatakan tidak adil, tidak hanya hukum, institusi, dan sistem sosial, bahkan juga tindakan tertentu, termasuk keputusan, penilaian dan tuduhan. Maka subjek utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya, cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental.
Kemudian, pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab saat ini adalah : Bagaimana pemahaman dan gerakan BHS ini dapat menjadi suatu paham dan gerak bersama dalam konteks Penguatan Akses keadilan melalui Bantuan Hukum.[9]
1. Tentang Bantuan Hukum dan Bantuan Hukum Struktural
Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.[10] Bantuan hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara, baik litigasi maupun non-litigasi. Bantuan hukum tersebut meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima bantuan hukum.[11]
Dimensi bantuan hukum sebagaimana tercermin dari ketentuan tersebut diatas, lebih menekankan pada pemberian akses keadilan melalui sarana legal. Berbeda hal dengan konsepsi dan arah gerak dari BHS yang lebih menekankan pada suatu pendekatan yang mencoba merenovasi pendekatan konvensional (yang semata-mata legal formal), dengan dikenal dengan istilah meta-legal.
Pendekatan dalam BHS lebih jauh memandang bahwa sebuah kasus yang terjadi dimasyarakat tidak bersidiri sendiri, melainkan disebabkan oleh persoalan-persoalan yang fundamental yang wujudnya sering tidak terlihat. Dengan demikian penanganan kasus dengan pedekatan meta-legal tersebut, harus bisa menyentuh sampai pada persoalan yang tidak terlihat itu, sebab tujuan yang hendak dicapai dengan pandangan ini adalah selain memberikan pelayanan, juga sekaligus mencegah terulangnya kembali kasus serupa dikemudian hari.[12]
Walaupun masih banyak catatan dalam pemberian akses keadilan bagi masyarakat miskin sebagaimana dimaksud pada UU Bantuan Hukum, hal ini dapat dijadikan suatu peluang oleh LBH dalam meng-influence konsep dan gerak BHS bagi pemberi bantuan hukum, yang pada pokoknya adalah menekankan pada keberpihakan pada masyarakat miskin dan tertindas. Karena dalam konsepsi BHS, masyarakat miskin dan tertindas itu tidaklah di downgrade menjadi “objek” dari bantuan hukum, melainkan mereka haruslah tetap menjadi “subjek” yang berdaya,[13] dengan kegiatan empowering the people. Hal ini yang kemudian menjadi peran LBH sebagai influencer BHS dalam penguatan akses keadilan.
2. Membumikan BHS melalui Penguatan Peran Paralegal pada OBH
Akses terhadap keadilan mensyaratkan masyarakat miskin dan marginal dapat menjangkau institusi peradilan dan kelembagaan hukum dalam upaya menyelesaikan masalah dikomunitasnya. Untuk mencapai tujuan tersebut negara harus menjamin bahwa sistem hukum yang ada telah mengadopsi dan mengimplementasikan prinsip-prinsip peradilan yang bersih dan adil serta adanya pengakuan atas persamaan perlakuan didepan hukum tanpa diskriminasi.
Oleh karena itu, tidak ada sedikitpun pengurangan atau pembatasan yang dapat dilakukan oleh negara untuk menjamin hak konstitusional warga negara mendapatkan hak persamaan didepan hukum. Kemiskinan seseorang tidak menghilangkan haknya untuk mendapatkan pembelaan dan pendampingan dari seorang advokat. Pembelaan dan pendampingan hukum bagi masyarakat miskin, marginal dan kelompok rentan lainnya akan menciptakan keseimbangan dalam proses hukum (due process of law) sehingga keadilan akan berlaku bagi setiap orang tanpa terkecuali (justice for all).
Indonesia dengan jumlah penduduk yang kurang lebih 270 juta jiwa, hanya memiliki advokat sekitar 40–50 ribu orang.[14] Hal ini tentu saja sangat mempengaruhi tingkat pelayanan hukum bagi masyarakat di Indonesia. Keadaan itu bila dibandingkan dengan di Amerika dengan penduduk 31,65 juta juta terdapat sekitar 1 juta Advokat atau 1:310. Meskipun eksistensi dan kualitas pelayanan hukum bagi masyarakat bukan satu-satunya diukur dari perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah advokat, namun ketersediaan SDM yang memadai mempunyai korelasi yang tidak terpisahkan dalam upaya peningkatan pelayanan dan pembangunan hukum di Indonesia.
Berdasarkan catatan YLBHI, hingga kini sedikitnya ada 405 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang memberikan pelayanan kepada 28.005.410 penduduk miskin. Dengan jumlah tersebut maka satu OBH harus melayani 67.000 orang miskin.[15] Seluruh OBH tersebut tersebar di 127 Kabupaten dan Kota. Padahal, sedikitnya tercatat ada 516 Kabupaten/Kota yang tersebar di seluruh wilayah Indonesa. Artinya, masih ada 389 Kabupaten dan Kota yang tidak terjangkau oleh OBH.
Penguatan Penyelenggaraan dan Pemerataan Bantuan Hukum, salah satunya adalah dengan mengakui dan memperkuat Paralegal dalam gerakan Bantuan Hukum. Istilah paralegal dikenal di Indonesia pada sekitar tahun 1975. Sebelumnya, pada jaman pendudukan Belanda, Paralegal lebih dikenal dengan sebutan pokrol (gemachtegde).[16]
Paralegal awalnya muncul sebagai reaksi atas ketidakberdayaan hukum dan dunia profesi hukum dalam memahami dan menangkap serta memenuhi asumsi-asumsi sosial yang diperlukan guna mewujudkan hak-hak masyarakat miskin yang secara jelas diakui oleh hukum. Pelaksanaan hak-hak tersebut seringkali hanya bisa dilaksanakan jika asumsi-asumsi sosial tersebut dipenuhi :
Masyarakat mengerti dan memahami hak-hak tersebut Masyarakat mempunyai kewajiban kekuatan dan kecakapan untuk memperjuangkan dalam mewujudkan hak-hak tersebut. Paralegal ada dan berkembang untuk pemenuhan asumsi-asumsi sosial tersebut.
Melalui The UN Principles and Guidelines on Access to Legal Aid in Criminal Justice Systems, yang telah diadopsi oleh the United Nations General Assembly pada bulan desember Tahun 2012, maka ketentuan ini merupakan ketentuan pertama yang mengakui peran paralegal sebagai penyedia layanan bantuan hukum.
Prinsip ke-14 menyatakan bahwa negara harus “recognise and encourage the contribution of lawyers’ associations,universities,civil society and other groups and institutions in providing legal aid” (mengenali dan mendorong kontribusi asosiasi pengacara, universitas, masyarakat sipil dan kelompok dan lembaga lain dalam memberikan bantuan hukum). Panduan Ke-1,5 dan 13 berkembang lebih lanjut dalam mendorong negara untuk melibatkan aktor-aktor lain dalam mengatur tentang bantuan hukum termasuk melibatkan paralegal dan mahasiswa hukum.
Legitimasi yuridis terhadap paralegal dalam memberikan bantuan hukum sangat diperlukan mengenai konsep negara hukum yang dianut oleh Indonesia. Negara hukum memberikan makna dimana negara dalam penyelenggaraan pemerintahannya didasarkan prinsip-prinsip hukum. Prinsip-prinsip hukum tersebut bertujuan untuk membatasi kekuasaan pemerintahan.[17]
Kemudian, pengertian yang diberikan tentang paralegal di Indonesia pertama kali tercantum dalam peraturan perundang-undangan yaitu dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Bantuan Hukum antara lain disebutkan bahwa :
“Pemberi Bantuan Hukum berhak melakukan rekrutmen terhadap pengacara, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum”.
Kemudian, dalam pasal 10 disebutkan bahwa :
“Pemberi Bantuan Hukum berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Bantuan Hukum bagi advokat, paralegal, dosen, mahasiswa fakultas hukum”.
Bahwa kemudian Kontribusi paralegal dalam pemberian bantuan hukum sangat konkrit dan telah berlangsung bahkan sebelum Permenkumhan 01 Tahun 2018 tentang Paralegal diterbitkan.[18] Sebagaimana penulis sampaikan terdahulu mengenai penekanan BHS tidak semata pada aspek legal formal, tetapi juga mengenai meta-legal, maka Paralegal memiliki peran penting dalam gerakan BHS.
Paralegal memiliki arti penting dalam gerakan BHS, kemudian dalam rezin Bantuan Hukum berdasarkan UU Bantuan Hukum, Paralegal telah diakui, walaupun belakangan Permenkumham 01 Tahun 2018 tentang Paralegal dibatalkan oleh Mahkamah Agung, akan tetapi hal ini tidak serta merta menghilangkan eksistensi Paralegal dalam giat bantuan hukum. Penulis melihat potensi baik pada pengakuan Paralegal ini dalam UU Bantuan Hukum (walaupun masih dalam perdebatan).
Berdasarkan beberapa pertemuan yang telah digagas LBH Bandar Lampung bersama seluruh OBH yang ada di Provinsi Lampung, beberapa diantara OBH tersebut telah bersepaham tentang peran penting Paralegal, dan meminta LBH Bandar Lampung memfasilitasi tentang pendalaman mengenai Ke-paralegal-an. Melihat respon yang demikian, maka ini menjadi peluang LBH untuk meng-influence OBH dalam memaknai dan melaksanakan Bantuan Hukum yang non-konvensional (Bantuan Hukum Struktural). Sadar bahwa BHS bukan hanya suatu metode, melainkan suatu gerakan, maka LBH Bandar Lampung harus mampu membumikan BHS melalui gerakan bersama seluruh pemangku kepentingan.
[1] Tulisan ini disampaikan sebagai Prasyarat untuk mencalonkan diri sebagai Calon Direktur YLBHI LBH Bandar Lampung Periode 2018-2021.
[2] Hal ini sebagaimana Pandangan Mulyana yang menyatakan bahwa BHS adalah produk asli Indonesia karena Konteks Politiknya. BHS dikembangkan oleh LBH bukan lagi dalam terminologi pengembangan sumber daya hukum masyarakat, tetapi membangun organisasi-organisasi masyarakat. Kemudian itulah yang muncul, kelompok-kelompok perlawanan di tingkat akar rumput. (YLBHI, Verboden voor honden en inlanders dan Lahirnya LBH : Catatan 40 Tahun Pasang Surut Keadian, (Jakarta, Penerbit : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2012), hlm. 56.
[3] Berdasarkan Strategi Nasional Akses Pada Keadilan 2016-2019 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS RI, dengan Visi : “Pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar pada kelompok miskin dan terpinggirkan berdasarkan UUD 1945 dan prinsip prinsip universal hak asasi manusia, melalui akses terhadap pelayanan hak-hak dasar, peradilan dan mekanisme penyelesaian sengketa non-formal, bantuan hukum, dan penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam”. Melihat hal ini, maka LBH sebagai Penggagas BHS harus mampu menjawab tantangan sekaligus membaca peluang dalam hal membumikan Gerakan BHS guna memberikan keadilan bagi masyarakat miskin dan tertindas pada pemenuhan Hak atas Bantuan Hukum.
[4] Benny K. Harman, dalam : Verboden voor honden en inlanders dan Lahirnya LBH : Catatan 40 Tahun Pasang Surut Keadian, (Jakarta, Penerbit : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2012), hlm. 35-36.
[5] Todung Mulya Lubis, dalam Verboden voor honden en inlanders dan Lahirnya LBH : Catatan 40 Tahun Pasang Surut Keadian, (Jakarta, Penerbit : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2012), hlm. 49.
[6] Adanya penggolongan terhadap penduduk Indonesia berdasarkan Pasal 163 ayat (1) Indische Staatsregeling (IS) pada masa itu berimplikasi pada dikotomi sistem peradilan di Indonesia.
[7] Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Cendana Press, 1983), hlm. 40.
[8] John Rawls, a theory of justice, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Yogyakarta, Penerbit: Pustaka Pelajar, cetakan II, 2011), hlm. 7-8.
[9] Bantuan Hukum dimaksud adalah sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
[10] UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Pasal 1 ayat (1).
[11] Ibid, Pasal 4 ayat (2) dan (3).
[12] Luhut Pangaribuan, Bantuan Hukum Struktural dan YLBHI, Suata Pembaruan, 23 Mei 1996, dikutip dari: Verboden voor honden en inlanders dan Lahirnya LBH : Catatan 40 Tahun Pasang Surut Keadian, (Jakarta, Penerbit : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2012), hlm. 58-59.
[13] Hal ini merupakan kegelisahan penulis dalam melihat pemberian bantuan hukum (khususnya) di Provinsi Lampung. OBH-OBH yang menjalankan praktek pemberian bantuan hukum terkesan hanya formalistik dalam memberikan bantuan hukum. Bahkan dibeberapa perkara, LBH Bandar Lampung menjumpai adanya kekecewaan penerima bantuan hukum yang tidak diberikan layanan dengan baik.
[14] Lihat pada : http://news.analisadaily.com/read/indonesia-masih-banyak-butuh-advokat/338912/2017/04/08, diakses pada Tanggal 18 November 2018.
[15] Angka ini merupakan akumulasi dari pemberian bantuan hukum litigasi maupun non-litigasi sebagaimana dimaksud dalam skema UU Bantuan Hukum.
[16] Lihat dalam : http://lbhapik.or.id/2018/03/27/tentang-paralegal-apa-dan-siapa-paralegal/, diakses pada Tanggal 18 November 2018.
[17] I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hlm. 158.
[18] Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 1 Tahun 2018 tentang Paralegal ini dilakukan Pengujia di Mahkamah Agung oleh beberapa Advokat, yang pada pokoknya Kewenangan Paralegal adalah bertentangan dengan Profesi Advokat, sehingga berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori, Permenkumham 1 Tahun 2018 bertentangan dengan UU 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
tag : BANTUAN HUKUM STRUKTURAL
PENGAKUAN, PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK ANAK
YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM
Pengakuan, Perlindungan dan Pemenuhan hak hukum terhadap anak merupakan usaha dan kegiatan seluruhlapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi Nusa dan Bangsa di kemudian hari. Anak akan matangpertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnyamenggantikan generasi terdahulu.
Perlindungan anak merupakan perwujudanadanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.Anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai korban maupun pelaku wajib dilindungi hak-haknnya oleh pemerintah dan tidak boleh di perlakukan secaradiskriminatif. Anak yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatanyang dinyatakan terlarang bagi anak perlu ditangani dengan seksama melaluisistem peradilan pidana anak.
Perlindungan hukum terhadap anak berlaku bagi semua anak, baik anakyang berhadapan dengan hukum pun harus mendapatkan perlindunganhukum. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak selain mengatur hak-hak anak, dalam Pasal 59 mengatur pulatentang anak yang mendapat perlidunganya khusus, perlindungan khususbagi anak yang berhadapan dengan hukumsebagaimana dimaksud dalamPasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korbantindak pidana, yang merupakan kewajiban dan tanggung jawabPemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya.
Dalam kesempatan ini, sehubungan FGD yang diselenggarakan oleh SKH Radar Lampung, kami sangat mengapresiasi SKH Radar Lampung yang dalam menjalankan kegiatan penyebarluasan informasi dengan dan selalu meng-edukasi masyarakat dengan informasi-informasi yang akurat dan didapatkan dari sumber-sumber yang mumpuni sesuai dengan kaedah Jurnalistik.
Bahwa sepanjang kami membaca dan mengikuti pemberitaan oleh SKH Radar Lampung, dalam hal kaitannya dengan Tema Diskusi kita hari ini, kami sangat mengapresiasi SKH Radar Lampung, yang ramah anak dalam pemberitaan khususnya mengenai anak.
Hal ini mengegaskan bahwa SKH Radar Lampung sangat memahami Kode Etik Jurnalis dan ketentuan pasal Pasal 64 huruf iUU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang PerlindunganAnak, yang menyatakan bahwa :
“anak yang berhadapan dengan hukum, mendapatkan perlindungan khusus berupa penghindaran dari publikasi atas identitasnya”.
Anak-anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai korban maupunpelaku wajib dilindungi hak - haknya oleh pemerintah dan tidak bolehdiskriminasi. Terhadap anak yang melakukan tindak pidana atau melakukanperbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak perlu ditangani denganseksama melalui sistem peradilan pidana anak Wujud dari suatu keadilanadalah di mana pelaksanaan hak dan kewajiban seimbang, pelaksanaan hakdan kewajiban bagi anak yang melakukan tindak pidana perlu mendapatbantuan dan perlindungan agar seimbang dan manusiawi.
Tabel 1.1. Anak Berhadapan dengan Hukum yang disidangkan pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Kota Bandar Lampung
NO |
TAHUN |
JUMLAH |
KETERANGAN |
1 |
2018 |
47 Perkara |
15 Perkara diantaranya adalah Anak yang berhadapan dengan Perkara Hukum mengenai penyalahgunaan Narkotika.
|
2 |
2017 |
94 Perkara |
34 Perkara diantaranya adalah Anak yang berhadapan dengan Perkara Hukum mengenai penyalahgunaan Narkotika. |
Bahwa pada Tahun 2018 sampai dengan saat ini, dari Perkara anak yang berhadapan dengan Hukum, setidaknya 32 % dari Perkara yang disidangkan pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang adalah anak yang terlibat dari penyalahgunaan Narkotika.
Bahwa pada Tahun 2017, dari 94 Perkara anak yang berhadapan dengan hukum, 34 Perkara adalah dalam Perkara anak dimana melakukan penyalahgunaan Narkotika, artinya hal ini 36% Perkara yang disidangkan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang, adalah anak-anak yang melakukan penyalahgunaan Narkotika.
Melihat dari data tersebut diatas, maka Perlu perhatian khusus dan serius dari semua pihak tentang bahaya Narkotika, khususnya terhadap anak-anak Indonesia, yang notabene nya adalah calon-calon pemimpin dan penerus bangsa.
tag : ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM
Silahkan menyampaikan keluhan anda terhadap kinerja yang kami berikan dalam memberikan bantuan hukum. Seluruh bentuk pengaduan/komplain yang anda sampaikan, dapat membantu meningkatkan kinerja kami.
Jl. Sam Ratulangi, Gg Mawar 1, No.7, Gedong Air, Tanjung Karang Barat, Bandar Lampung
© 2019 - 2021 . All rights reserved | LBH BANDAR LAMPUNG